Kamis, 04 Agustus 2011

Ungkapan Hati Para Ahli Tentang Puisi Traktat Cinta Dan Dosa Dalam Dendam karya 25 Penyair Muda Nusantara

By Pidri Esha | At 09.57 | Label : | 3 Comments
Wujud Tuhan dan Cinta dalam Diri Penyair
Oleh Arafat Nur, seorang penulis novel Lampuki, yang memenangkan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKI), sebuah sayembara sastra paling bergengsi tingkat nasional

Puisi-puisi dalam antologi ini, para penyair tidak hendak menunjukkan diri dengan kepura-puraan. Ada kesan dengan pengakuan yang dimaksud untuk menimbulkan ketenangan, dan mengharapkan Tuhan (Allah SWT) memakluminya. Sebab puisi adalah bahasa jiwa penyairnya bukan orang lain.

Misalkan puisi “Menuju Aku” (Si Mene Ketehe/Ali Muksin), menunjukkan gejolak jiwa yang sulit diraba, bentuk pengakuan jujur dari sebuah damba yang absurd. Sebagaimana rintihan kerinduan dalam “Meraba Hatimu” (Abdul Malik). Ternyata bentuk perasaan dan cinta pada Tuhan pun tidak saja pada hamba-hamba yang taat, di dalam diri seorang pemabuk sekalipun memiliki perasaan itu. Di sini terjadi kontradiksi yang dipicu oleh kekecewaan dan putus asa dalam puisi mbelink “Sebotol Whisky Demi Jati Diri” (Senja Hati/Pidrian Syaikhal). Perihal semacam itu juga sedikit sama dalam puisi “Aku Kalah” (Merangkai Bintik Pelangi/Desmayenti), “Pupus” (Ratna Mangali/Ika Sriyati), “Airmata Penyesalan”(Lintang Panjer Sore/Irna Kholiyannawati), dan “Haji Kabur” (Dedy Sableng/Dedy Setiawan).

Rintihan cinta, gundah, rindu, kecewa dan putus asa, mengambang akibat luka, dalam puisi “Sephia” (Senja Saga Yang Terpasung/Nunuk Hariyati), “Persimpangan” (Thia SjahruddinMediana Ariethia), “Rindu”(Ninkz Zknin Eno/Nining Sujanawati), “Pembelajaran Alam”(Mega Ungu/Siti Fauziah binti Haji Idris), “Derita Hati” (Jhon Demit Kuburan/Untung Surono), “Kembalikan Agar Aku Tenang” (Jheje PurnomoYulyanto Purnomo), “Cintaku Asa Tak Bernyawa” (Cenil Kepuh/Sarni Kaswanto), “Pengkhianat”(Dinda Clyte/Shelby Adrianne), “Sejak Kutikam Hatimu”(Buana Kembara Senja/Bambang Irawan), “Dengarkan Rindu (Sindy Arlum/Sindy Maulidina Rohmah), dan “Untukmu” (Aan Berdarah/Rahmat Ansyarif).

Kekuatan-kekuatan cinta bukan lahiriah coba dilukiskan dalam “Gubuk Derita” (Sketsa Oase SenjaMurni Turmiati). Seakan-akan keberadaan lahiriah bukanlah halangan berat untuk pennyatuan dua cinta berbeda.

Meskipun jarang, tema politik juga terdapat dalam puisi buku bunga rampai ini, seperti dalam puisi “Hilang Nada” (Z33/Hersi Suwarto) dan “Darah! Iya Darah!” (Delbin Clyte/Ady Agusta Perdana).

Puisi-puisi dalam kumpulan ini umumnya masih mencari bentuk, beberapa malah masih sangat muda dan sederhana, sebagaimana puisi pragmatis. Saya melihat ini merupakan titk awal bagi penyair-penyair untuk beranjak lebih jauh dengan semangat yang beragam.


Dengan Imaji Meneropong Masa
Oleh Musfeptial, S.S., M.Hum. Peneliti Bidang Bahasa dan Sastra Balai Pustaka Provinsi Kalimantan Barat.

Puisi sebagai genre sastra diciptakan oleh pengarang dengan gaya imajinasi dan khayalan tingkat tinggi. Dengan imajinasi dan khayalan yang melanglang buana, pengarang mampu mengungkapkan apa yang dilihat dan dirasakan dari fenomena kehidupan masyarakat. Bahkan, tak jarang pengarang dengan imajinasi dan daya khayalnya mampu meneropong masa (waktu) yang jauh dengan dirinya, seperti masa lalu yang sesungguhnya ia tak pernah melalui masa tersebut.

Kejelian dan kecermatan seperti diuraikan di atas juga terlihat pada kumpulan puisi ini. Kumpulan puisi yang awalnya hanya curhat penyair lewat media facebook ini juga berbicara tentang fenomena social masyarakat. Kehadiran puisi ini harus diberi apresiasi, setidaknya ada dua alasan mendasar, yaitu pertama karena hadirnya kumpulan puisi ini dapat menambah seranai puisi Nusantara. Kedua, kumpulan puisi ini lahir karena kejelian para penyair memanfaatkan teknologi sebagai sarana informasi dan sarana promosi karya mereka.


Dari Keharuan ke Pernyataan
Oleh Zen Hae seorang penyair, penulis cerpen dan kritik sastra. Anggota Dewan Kesenian Jakarta (2006 -2012).

“Saya melihat puisi-puisi dalam bunga rampai ini bermula dari keharuan dan berakhir dengan pernyataan. Bahwa dengan menulis puisi kita bukan hanya bisa bahagia, tetapi juga bisa membidik identitas atau profesi tertentu. Dengan puisi kita merayakan kemanusian kita, luka dan sakit yang selama ini tersembunyi, di samping keharuan yang terus-menerus membetot kita ke jalan puisi. Jalan yang tidak lagi sunyi, tetapi mulai ramai dan menyenangkan.”



=============================================

Suatu Keniscayaan
Oleh Pidri Syaikhal (Penyair Mbelink)

Puisi dalam kumpulan ini merupakan perwujudan dari keniscayaan yang “mungkin” sangat sulit terwujud, berbagai macam kendala, hambatan, rintangan bahkan waktunyapun molor dari yang telah ditentukan sebelumnya. Ini adalah hasil dari perjuangan kami (25 penyair muda nusantara) sesama penggemar dunia maya, media facebook. Disini kita bisa mengambil manfaat dari suatu teknologi, bahwa tak selamanya teknologi itu berakibat negative, pandai-pandailah kita mengambil kesempatan dan memanfaatkan segala apa yang tersaji asal itu bertujuan baik. Di zaman era globalisasi ini tidak ada yang tidak mungkin untuk diwujudkan tapi tidak hanya asal tanpa perhitungan matang itu sama saja dengan bunuh diri. Semoga kehadiran puisi-puisi dalam buku ini memberi manfaat walaupun sangat, sangat sederhana dan bahasanyapun masih mudah dimengerti setidaknya bisa menjadi penyemangat untuk lebih maju. Ingat pepatah “Tuliskanlah namamu di jendela dunia sebelum tertulis di batu nisan”. Dan buku inipun jauh dari sempurna masih acak-acakan, bukannya kami mau menyombongkan diri, tidak sama sekali, ini hanya sekedar celoteh tanpa arti.



Salam Takzimku “Penyair Mbelink”

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Ad

business

technology

Copyright © 2012. Celoteh Kopi - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz