Jam
dua pagi suasana pasar wedono mulai ramai, para pedagang sayur keliling sibuk
mempersiapkan dagangannya. Ratusan sepeda motor berderet rapi di pelataran parkir
yang memang sangat luas. Berbagai macam kendaraan hilir mudik, keluar masuk
membawa bermacam-macam jenis barang dagangan, sayur-sayuran dan buah-buahan.
Baik yang local maupun yang dari luar daerah. Transaksi jual beli mewarnai
lingkungan pasar yang tertata rapi. Cahaya lampu terang bak di siang hari, yang
membedakan hanyalah hawa dingin, tapi tak menyurutkan semangat para pedagang
untuk beraktifitas. Di salah satu sudut pasar Lik Parmin sibuk menata barang dagangan,
sesekali terdengar teriakan, memanggil para pelanggan yang sudah memesan barang
dagangan.
Aku
masuk ke sebuah warung kopi yang terletak di sebelah pasar, biasa tempat
mangkal aku dan teman-teman. Kulihat Lik Pardi, Mas bagong, Mas Pur dan
beberapa orang lainnya sedang asyik menikmati hangatnya secangkir kopi. Aku
mendengarkan obrolan mereka, mulai dari kendaraan yang hilang, padi yang
diserang hama,
harga pupuk merangkak naik, hingga harga kol yang jatuh di pasaran. Semua
tumpah jadi satu, mulai dari isu perselingkuhan seorang janda penjual pecel,
peruntungan, hingga ranah sepakbola, terdengar suara berderai saat obrolan
mereka menjurus ke hal-hal yang lucu.
“Mas,
dengar berita, pemerintah kita mau naturalisasi pemain untuk timnas?” tanya Lik
Pardi
“Iya,
menurut kabar berita”, jawabku
“Emangnya
kita sudah kehabisan stok ya, koq pakai kayak gitu segala?
“Iya
Lik, kehabisan stok, tuh sudah diborong semua,” celetuk Mas Bagong sambil
menunjuk ke arah keranjangnya yang sudah kosong, disambut tawa berderai para pengunjung warung.
“Oo..dasar.
Aku tanya beneran”, ujar Lik Pardi sewot. Aku hanya tersenyum mendengar
celetukan mereka.
“Bukannya
habis Lik, mungkin dengan cara instant, bisa membangkitkan sepakbola timnas
kita ”, jelasku.
“Kayak
mie aja, instant”, ujar Mas Pur sambil mengunyah tempe goring.
“Ya
itulah Mas, Indonesia
senangnya yang instant-instant, padahal kalo pembinaan pemain muda kita jalan,
tidak perlu naturalisasi, tapi kalo itu bisa mengangkat prestasi, ya apa
salahnya kita dukung, mungkin saja salah satu tujuannya untuk mengangkat mental
para pemain yang mudah naik turun alias tidak konsisten dalam penampilannya”,
“Kira-kira
siapa Mas yang akan di naturalisasi?”, tanya Lik Pardi.
“Pemain-pemain
keturunan yang ada di luar negeri , atau pemain luar yang sudah lama berkiprah
di liga, setidaknya sudah lima
tahun tinggal di negara kita”
“Oo..Aku
tahu”, ujar Mas Bagong sembari menghirup kopi. “Christian Perez sama Irfan
Khadim”, lanjutnya kemudian.
“Ngawur,
kalo itu Julia Perez, senangnya yang semok-semok. Kalau tidak salah, Christian
Gonzales sama Irfan Bachdim”, lanjut sahut Mas Pur sambil mengedipkan sebelah
mata ke arah Sri anak pemilik warung yang senyumnya aduhai.
“Ooo..gitu
ya, Mas”, ujar Lik Pardi.
Tak
terasa obrolan panjang telah usai, satu persatu mereka kembali berakfitas seperti biasa, ada pulang yang ke
rumah, ke sawah. Pasar sudah mulai sepi, tinggal beberapa pedagang yang masih
sibuk membenahi barang dagangannya.
Hari
mulai merayap terang, matahari mulai menampakkan diri, sinarnya terasa hangat
menyentuh wajahku. Perbincangan tadi pagi masih melekat di kepala,
naturalisasi? instant? Nasionalisme?. Apakah bisa mereka membuktikan rasa
nasionalisme jika mereka menjadi pemain timnas Indonesia? Mungkin semua perlu
pembuktian.
Tak
terasa langkah kaki sampai di beranda rumah. Suasana sepi karena bapak ibu
sejak pagi tadi pergi ke sawah. Rasa lelah mulai menggelitik tubuh, kegiatan di
pasar telah menguras tenaga. Akhirnya aku tertidur.
Malam
harinya seperti biasa di warung kopi, ternyata perbincangan tadi pagi masih berlanjut.
Kulihat Mas bagong, Mas pur, Lik pardi, dan yang lainnya semua berkumpul.
Mereka merencanakan acara nonton bareng.
“Mas,
gimana rencana nonton barengnya?”, tanya mas bagong
“Ya,
kita pasang layar lebar di parkiran pasar, gimana Lik?”
“Kalo
aku, setuju saja, nggak tahu yang lain”.
“Boleh-boleh”,
ujar Mas Pur. “Tapi peralatannya gimana, maksudnya projektornya?”
“Nah
itu dia yang harus kita pikirkan”, ujar Lik parmin seraya menyulut rokoknya.
“Gimana
kalo kita patungan untuk biaya sewa proyektor, selama kejuaraan?”, usulku
sambil melihat satu persatu reaksi mereka.
“Aku
setuju”, sahut Mas Bagong berapi-api.
“Gimana yang lain?” . Tanpa banyak pertimbangan mereka menyetujui usulku.
Gegap
gempita menyambut kejuaraan mulai terasa, di sudut-sudut pasar para penjual dadakan
mulai menggelar dagangannya, harganya yang bervariasi, mulai dari kaus, baju,
celana samapi jaket, baik ukuran anak-anak hingga orang dewasa. Lik Parjo
sumringah karena warung kopinya laris manis, selalu pebuh terisi, membludak,
tumpah ruah. Mas bagong senyum-senyum, kaosnya ludes terjual habis, bahkan ia
kerepotan memenuhi permintaan. Tiap sore lapangan sepakbola penuh diisi
orang-orang yang bermain bola, baik laki-laki dewasa maupun anak-anak kecil
semua ikut larut dalam suasana gembira.
Aku
yang duduk di pinggir lapangan tersenyum, dan bertanya dalam hati, “Apakah
harus seperti ini rasa nasionalisme dibangkitkan?”.
Di
warung kopi topik pembicaraan tidak jauh tentang kemenangan pasukan timnas
masuk final. Bahkan Lik Parjo cs, sesumbar timnas pasti juara. Mereka mulai berani
pasang taruhan. Aku yang mendengarkan geleng-geleng kepala,
“Wah
ini dah kebablasan Lik”, ujarku. Mendengar ucapanku, spontan satu per satu
mereka melihat ke arahku.
“Nggak
apa-apa mas, kapan lagi”, sahut Lik Parjo. Aku hanya diam saja. Tak berapa lama
kemudian satu per satu orang-orang mulai berdatangan memenuhi warung kopi.
Malam yang ramai, riuh rendah oleh gelak tawa, kepulan asap rokok
berputar-putar membumbung tinggi, memenuhi warung yang tak seberapa lebar.
Pagi
sekali saat lewat depan rumah lik pardi, kulihat ia termenung sepertinya masih
menyimpan kekecewaan yang dalam karena kekalahan timnas tadi malam. Terdengar
ia menggerutu seraya menggaruk-garuk kepala.
“Lik,
panggilku sambil mendorong pintu pagar rumahnya yang sudah mulai doyong.
“Mas, mau kemana?”
“Mau
ke sawah lik, nyusul Bapak”.
“Kapan
panen?’
“Kemungkinan
tiga minggu lagi. Ada
apa, Lik?” tanyaku lebih lanjut.
“Nggak
apa-apa”, ujar Lik pardi mendesah.
“Masak
Lik, kelihatannya suntuk amat!”. Apa karena timnas kita kalah atau ada masalah
lain?”
“Salah
satu penyebabnya itu, akibatnya saya kalah taruhan” jelas lik pardi.
“Jadi
Lik pardi ikut taruhan? Berapa Lik?”, tanyaku penuh selidiki.
“Iya
ikut, kalah lima
juta”, jawab Lik pardi hingga suaranya mengagetkan seekor ayam yang sedang
mengais makanan di atas rerumputan.
“Walah
Lik, duit segitu banyak, bisa buat beli bibit, bisa kulakan sayur, bisa untuk
beli pupuk”, jelasku sambil geleng-geleng kepala. “Bu Lik, tahu nggak?’,
lanjutku.
“Bu
Likmu belum tahu, makanya aku pusing. Bapakmu kira-kira punya uang nggak?”,
“Setahu
saya nggak punya Lik, kemaren habis beli pupuk”.
“Ya
sudah, ujar Lik Pardi dan langsung berdiri dari kursinya.
“Makanya
Lik, lihat-lihat dulu, jangan keburu nafsu, kalo Bu Lik tahu gimana, repotkan!”
“Udah
ahh, berangkat sana,
sok nasehatin”, gerutu Lik Pardi sambil menggulung sarungnya yang kedodoran dan
langsung ngeloyor masuk ke dalam rumah.
Aku
diam saja sambil menutup mulut menahan ketawa melihat tingkah Lik Pardi.
“Berangkat
dulu ya Lik”, seruku setengah berteriak.
Tak
ada sahutan mungkin Lik Pardi tidak mendengar seruanku. Bergegas aku, tak lama
kemudian sampailah aku di pematang sawah, dan bekerja seperti biasa, tapi
pikiranku masih teringat percakapan dengan Lik Pardi hingga tak terasa matahari
sudah di ufuk barat.
Sore
itu sambil menunggu siaran langsung final ke dua, aku dan temen-temen nongkrong
di warung kopi seperti biasanya. Untuk mengusir hawa dingin yang mulai
menggigit, aku memesan segelas kopi dan mulai terlibat obrolan yang tidak tahu
arahnya kemana, ngalor ngidul. Beberapa potong gorengan yang hangat sudah
lenyap masuk ke dalam perutku. Suasana kedai semakin ramai, beberapa anak muda
dari desa sebelah mulai terlihat berdatangan, sepertinya ingin bergabung untuk
menonton bersama.
Sesaat
terdengar suara sepeda motor Lik Pardi, parkir di depan kedai. Suaranya yang
khas memecah obrolan kami.
“Gimana
Lik, ikut lagi nggak taruhannya?”, tanya salah seorang pengunjung, sepertinya
bukan dari kampung kami.
“Ikut..!”,
ujar Lik Pardi bersemangat
“Berapa
Lik?”
“Seperti
biasa sajalah, kebanyakan nanti pusing kepalanya”, jawab Lik Pardi seraya
mengeluarkan amplop dari saku jaketnya.
Aku
yang mendengarkan diam saja. Darimana Lik Pardi dapat uang sebanyak itu. Ah,
biarlah itu urusannya, pikirku.
Kembali
hening, sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa menit kemudian Mas Pur dan
teman-temannya, memasuki kedai kopi. Dan mereka
mulai terlibat percakapan sepertinya serius.
“Timnas
tidak mungkin juara, menang iya”, terdengar olehku suara Lik Pardi membuka
percakapan.
“Iyalah
Lik, berat kalo timnas kita juara, mengejar ketinggalan tiga gol, setidaknya
harus menang empat kosong”, ujar Mas Pur tak kalah serunya.
“Lik,
katanya mau bernazar kalo timnas menang. Ingat nggak waktu kita ngobrol di
beranda?”, ujarku pada Lik Pardi
“Bernazar
apa Mas?” tanya Lik Parmin yang sedari hanya diam saja.
“Oke,
begini. Kalo timnas menang, bukan juara lho. Aku akan keliling pasar dengan
hanya mengenakan celana dalam”, jelas Lik Pardi berapi-api.
Mendengar
Lik Pardi mengucapkan itu semua pengunjung kedai terbahak-bahak, geleng-geleng
kepala. Bahkan Mas Pur sampai tersedak.
“Dasar
wong gendeng, nggak malu apa?”, tanya Lik Parmin.
“Nggak
Mas, demi timnas aku relakan melakukan apa saja, garuda di dadaku”, Lik Pardi
sambil menepuk dada
“Garuda
di cawetku”, celetuk Mas Pur terbahak-bahak.
Pelataran
pasar sudah mulai penuh satu persatu penonton berdatangan. Layaknya pasar
malam, besar kecil, tua muda, semua tumplek jadi satu. Sebuah layar raksasa
berdiri megah, alunan suara penyanyi dangdut yang keluar dari loudspeaker
menambah semaraknya suasana.
Pertandingan
akan dimulai, semua mata menatap ke layar, saat lagu kebangsaan terdengar,
semua terdiam, mungkin hanyut dalam suasana atau karena udara yang bertambah
dingin, aku tidak tahu. Pertandingan babak pertama berlangsung seru, beberapa
kali peluang tercipta tapi tidak menghasilkan gol. Serangan bergelombang yang
diperagakan pasukan garuda benar-benar luar biasa, hingga peluit babak pertama
usai, kedudukan masih sama.
Babak
kedua pun dimulai, wajah-wajah tegang penonton terlihat pias oleh temaram
cahaya. Bagi mereka juga aku, kemenangan adalah soal harga diri apalagi kalau
sampai timnas juara. Pertandingan lebih menggigit kedua kesebalasan saling
serang, karena keasyikan timnas dikejutkan oleh serangan balik dan mengubah
kedudukan menjadi satu kosong untuk pihak lawan. Sesaat semua terdiam,
tehenyak, sorak-sorai yang tadi begitu riuh lenyap terbawa angin. Wajah Lik
Pardi pucat pasi, Mas Pur yang duduk bersama bersama Sri anak Lik Parjo, garuk-garuk
kepala, sedangkan aku hanya bisa mengumpat dalam hati.
Tak
lama kemudian kedudukan berubah dan pada menit-menit terakhir pasukan garuda
merubah kedudukan dan memenangkan pertandingan. Gegap gempita, riuh membahana,
membelah langit yang tertutup kabut, terselip rasa bangga walau pasukan garuda
tidak menjadi juara lalu Lik Pardi berteriak meluapkan kegembiraannya. Teringat
nazar yang pernah ia ucapkan, Lik Pardi langsung melepas baju dan celana, melesat,
berlari mengelilingi pasar sambil mengacungkan ke dua belah tangan ke udara diiringi
tepuk tangan dan gemuruh sorak sorai para penonton yang masih berjubel di
pelataran. Semua larut dalam efouria kemenangan.
Di
sudut lain kulihat Mas Pur dan Sri berbincang mesra, aku tak tahu apa yang
mereka bicarakan. Kebersamaan dalam menyemangati timnas telah menyatukan dua
hati, ada benang-benang cinta yang terajut, kilatan cahaya di bening mata Sri
menyiratkan itu. Aku tersenyum melihat tingkah mereka. Tak terasa malampun
semakin pekat dan satu persatu orang-orang mulai meninggalkan pelataran pasar,
pulang ke rumah masing-masing dengan wajah senang dan senyum tersungging di
bibir.
Pagi
menyapa, kuayunkan langkah menuju rumah Lik Pardi. Ternyata masih tidur, kata
isterinya masuk angin. Aku hanya tersenyum, dan berkata dalam hati,
“kebablasan”.
by Pidri Esha, 05082011
4 komentar:
ceritanya seru,,sukses ya :)
tengkiyu :)
kalau ada sahabat Pidri Esha yang ada cerpen di atas ada di buku Merah Putihnya Cinta. Bisa pesen buku di saya (Novy) . Email aja ke er.novy@gmail.com
#DiscountHarga #KaryaPidriYangLainKerenJugaLho
@Novy : hahaha..siipp...
Posting Komentar